Total Tayangan Halaman

Sabtu, 07 Januari 2012

Menjadi Manusia Bebas Menurut Aristoteles

Suatu ketika pak Rinaldo (Ayah Conforti) mengajak Conforti ke ladang. Di sana ia memperlihatkan ladangnya kepada anaknya, katanya: “Conforti inilah sebagian dari harta kita. Sekarang, kamu sudah tamat SD maka ayah mau menyekolahkan kamu di sekolah yang terbaik agar kelak kamu menjadi manager yang unggul dan sukses untuk mengelolah pertanian kita.” Mendengar itu sangat sedihlah hati Conforti sebab ia ia sendiri sebenarnya ingin bekerja di ladang Tuhan sebagai imam. Di sini Conforti di hadapkan pada dua pilihan yang sangat berat, bekerja di ladang ayahnya atau di ladang Tuhan. Akhirnya, setelah melalui pergulatan yang panjang ia memutuskan untuk bekerja di ladang Tuhan. Keputusannya ini ia ungkapkan di dalam doanya:”Tuhan Yesus aku memilih rencana-Mu. Aku mau menjadi imam misionaris untuk memperkenalkan-Mu kepada bangsa-bangsa yang belum mengenal-Mu.”
Sepenggalan kisah riwayat St, Conforti di atas melukiskan tentang manusia yang bebas. Ia menjadi bebas bukan hanya karena ia bisa berbuat apa yang diinginkannya tetapi juga karena ia bisa memutuskan apa yang ingin diperbuatnya. Apa yang menjadi keputusannya itu bergantung pada dirinya sendiri, ia tidak bisa dikendalikan oleh paksaan dari luar. Dan apa yang menjadi keputusannya itu mengandung kebaikan sejati yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
Pada zaman Yunani, agaknya para filsuf pada waktu itu tidak bisa mengatasi permasalahan kebebasan. Ada tiga hal yang mempengaruhinya yakni keyakinan bahwa semua hal ditentukan oleh nasib, manusia adalah bagian dari alam maka ia harus patuh terhadap hukum-hukum alam dan manusia dipengaruhi oleh sejarah yang bergerak secara siklis, di mana segala sesuatu terulang kembali dalam periode tertentu. Ketiga hal inilah yang membuat manusia tidak bebas karena ia tidak memiliki pilihan-pilihan sehingga ia tidak bisa mempertanggungjawabkan tindakkannya. Baru pada masa Aristoteleslah persoalan tetang kebebasan dapat diatasi. Ia memunculkan gagasan tetang pilihan. Di hadapan pilihan itu manusia harus mengambil suatu keputusan yang didasari oleh pertimbangan baik-buruknya. Ini sebabnya ia harus bertanggung jawab atas pilihannya.
Menurut Aristoteles kebebasan manusia itu terdapat dalam pertimbangan praktis dan dalam proses pertimbangan yang mengarah kepada praksis. Proses ini mengandung empat unsur hakiki yakni: Pertama, bersifat diskursus artinya melalui permenungan atau percakapan batin. Kedua, bermaksud menemukan “yang baik”. Hal ini sesuai dengan tujuan manusia karena dalam proses perkembangannya ia menuju pada arah yang final yakni terarah kepada”yang baik”. Ketiga, menyangkut masa depan yang tak tentu. Maksudnya, proses pertimbangan itu hanya menyangkut suatu masa depan yang tak menentu yang ditandai dengan ketidakpastian dan kebimbangan. Seandainya masa depan itu sudah ditentukan maka pertimbangan itu menjadi percuma. Dan keempat, suatu proses pertimbangan itu harus diakhiri dengan suatu pilihan atau keputusan, dimana keputusan itu bukanlah suatu keinginan spontan tetapi sungguh merupakan hasil suatu pertimbangan. Dengan demikian, menurut Aristoteles, menjadi manusia yang bebas berarti dapat memilih dan apa yang dipilihnya itu untuk berbuat baik.
Kembali ke kisah St, Conforti di atas, ia semenjak kecil sudah menunjukkan diri sebagai manusia bebas. Di dalam kebebasannya ia memilih rencana Tuhan. Ia tahu bahwa rencana Tuhanlah yang terbaik bagi dirinya. Dan apa yang dipilihnya itu ia hidupi sebagai keputusan. Saya sebagai anggota serikat Xaverian bersyukur atas pilihan Conforti itu karena dari sanalah cikal bakal terbentuknya Serikat Xaverian.